Kamis, 21 Februari 2013

Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional



BAB I
PENDAHULUAN
1.1    Latar Belakang
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang sangat beragam. Dimana akan banyak sekali masalah yang timbul dengan adanya perbedaan yang semakin beragam. Tidak hanya itu saja, munculnya bebagai golongan yang didasarkan atas suku, agama, ras/etnis membuat bangsa Indonesia menjadi lebih sendiri-sendiri. Keberagaman bangsa Indonesia telah sampai pada partai politik.
Melihat hal tersebut kita juga harus dapat berfikir kritis dengan adanya masalah yang ada disekitar kita. Namun, kita juga perlu memiliki wawasan local dan wawasan nasional untuk menunjangnya. Dengan begitu,
kita pasti akan tahu bagaimana cara menangani masalah yang ada.
Rasa nasionalisme yang semakin menurun menuntut kita untuk dapat memahami apa arti nasionalisme yang sesungguhnya. Dalam makalah ini kita akan sedikit mengupas apa arti nasionalisme yang sesungguhnya. Rasa nasionalosme akan tumbuh apabila kita memiliki wawasan yang luas mengenai bangsa kita sendiri. Wawasan yang dimaksud antara lain wawasan local dan wawasan nasional. Keduanya merupakan syarat penting dalam memahami apa saja yang ada didalam bagsa  kita tercinta ini. Disamping itu kita juga harus tahu Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional
1.2    Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistic?
2.      Apa yang dimaksud Wawasan Lokal dan Wawasan Nasional?
3.      Bagaimana Pemahaman Kritis Sara dalam Pluralitas Bangsa?
4.      Apa yang dimaksud Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional?
5.      Bagaimana makna Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia?
1.3     Tujuan
1.      Untuk dapat mendeskripsikan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistic
2.      Untuk dapat menjelaskan hubungan antara Wawasan Lokal dan Wawasan Nasional
3.      Untuk dapat melakukan analisis kritis Sara dalam Pluralitas Bangsa
4.      Untuk dapat menjelaskan hubungan antara Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional
5.      Untuk dapat menjelaskan makna Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia
1.4  Manfaat
1.4.1   Bagi Mahasiswa
1.      Menambah wawasan mahasiswa tentang cara pandang local dalam konteks wawasan kebangsaan
2.      Menjawab rasa keingintahuan tentang cara pandang local dalam konteks wawasan kebangsaan
3.      Memancing minat mahasiswa untuk lebih aktif menulis makalah.
1.4.2   Bagi Penulis
1.      Menambah wawasan penulis tentang cara pandang local dalam konteks wawasan kebangsaan
2.      Menambah wawasan penulis tentang pembuatan makalah.




















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Pluralistik
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk (pluralitas). Kemajemukan masyarakat Indonesia itu ditandai oleh beberapa faktor yang antara lain oleh perbedaan suku, agama, ras/etnis dan antara golongan serta budaya local yang beraneka ragam. Sebagai konsekuensi masyarakat yang pluralitas, masyarakat Indonesia secara kultural memiliki kebudayaan yang bersifat mejemuk (kebhinekaan). Dan jika kita kaji secara mendalam, kemajemukan budaya tidak saja memiliki makna sosial, akan tetapi juga memiliki makna politis. Hal ini disebabkan bukan saja karena setiap etnik mempunyai  daerah otonomi  yang jelas dan batas – batasnya, melainkan juga memiliki kultur politik (politic culture) yang beragam. Dalam kondisi variasi kultur ini, kultur politik yang berkembang pada masyarakat local bisa sama dan bisa berbeda dengan kultur politik Negara. Pernyataan ini mengisyaratkan kepada kita bahwa persoalan kebudayaan tidak saja penting menjadi agenda masyarakat lokal akan tetapi juga penting menjadi tanggung jawab pemerintah (negara). Dan, itu terkadang bisa menyebabkan hubungan antara masyarakat lokal dan Negara menjadi tidak seimbang, lantaran terdapatnya benturan nilai – nilai cultural rakyat dan nilai yang dikembangkan sebagai kultur Negara.
Dalam hubungannya dengan masyarakat majemuk, Berghe (dalam Nasikun, 1993) mengidentifikasi karakteristiknya meliputi:
(1) terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok – kelompok yang memiliki subkebudayaan yang berbeda satu sama lain,
 (2) memiliki struktur social yang terbagi dalam lembaga – lembaga yang bersifat non-komplementer,
(3) kurangnya mengembangkan consensus di antara para anggota terhadap nilai – nilai yang bersifat mendasar,
(4) secara relative sering mengalami konflik di antara kelompok dengan kelompok lain,
(5) secara relative integrasi social tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan, dan
(6) adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok – kelompok lain.

Dalam kaitan itu, ketika persoalan kebudayaan dipandang penting sebagai agenda pemerintah dan demikian seringnya persoalan kebudayaan dimasukkan ke dalam konteks kehidupan berbangsa, berakibat penganan masalah kebudayaan berubah menjadi argument politik pemerintah. Dalam kasus Negara kita, kebudayaan politik (political culture) sebagian besar ditandai oleh usaha pemerintah untuk mencapai politik kebudayaan (cultural politics). Berkaitan dengan dua konsep itu, Emersen (dalam Egnas Kleden, 1987) menegaskan bahwa kebudayaan politik adalah orientasi budaya kelompok elite politik yang sangat menentukan orientasi politik mereka sendiri, sedangkan politik kebudayaan menunjuk kepada kenyataan di mana perbedaan – perbedaan kebudayaan diperpolitikkan dan perbedaan politik diungkapkan dalam idiom – idiom kebudayaan.
Perlu disadari, bahwa dalam konteks bangsa dan Negara Indonesia, aspirasi budaya lokal merupakan sebuah potensi bangsa yang sangat bermakna bagi pembangunan nasional, terutama bagi nation and character building Indonesia. Oleh karena itu, lembaga – lembaga kenegaraan seyogianya berkonsentrasi penuh dalam memahami hal tersebut. Secara politik, lembaga kenegaraan berperan dalam culture broken (pialang budaya) antara Negara dengan entitas budaya masyarakat lokal yang beragam. Pentingnya posisi ‘penghubung’ dalam menjembatani antara dua kubu Negara dan masyarakat, elite dengan massa, logika nasional dan logika lokal (daerah) menjadi keharusan yang dilakukan bagi para pengambil keputusan dan penentu ara pembangunan.
Selain faktor politik, budaya sangat berpengaruh terhadap kehidupan suatu masyarakat, khususnya bagi pengembangan itu sendiri. Clifford Geertz (dalam Ali, 1997) mengatakan bahwa budaya merupakan way of life, suatu petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia, yaitu ekspresi nilai – nilai dan cita – citanya. Sementara itu, E.B Tylor mengartikan budaya sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, kesusilaan, hukuum, adat istiadat, serta kemampuan – kemampuan, dan kebiasaan lalinnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Koentjaraningrat, 1982). Selain itu, Kroeber dan Kluckhohn (dalam Mulyana, 1993) mendefinisikan budaya sebagai pola (pattern) yang eksplisit dan implisit dalam prilaku manusia yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol – simbol yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda – benda budaya. Sebagai suatu pola, budaya selalu mengacu pada system pengetahuan dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman dan persepsi mereka dalam menentukan tindakan dan memilih di antara alternative yang ada.
Senada dengan itu, Philips R. Harris (dalam Mulyana, 1993) mengatakan bahwa budaya adalah gaya hidup kelompok manusia tertentu. Oleh karena itu, budaya member identitas kepada sekelompok orang. Dia memiliki karakteristik yang terjabar dalam aspek – aspek budayanya, misalnya bahasa, pakaian, penampilan, kebiasaan makan, nilai dan norma, kepercayaan dan sebagainya.
Budaya memang sangat erat dengan kehidupan manusia, mulai dari gagasan, pola aktivitas tingkah laku sampai dengan produk benda – benda budaya. Demikian halnya dengan kehidupan politik. Tingkah laku manusia dan pilihan – pilihan politiknya banyak ditentukan oleh latar belakang budaya atau bahkan orientasi politik pun sangat ditentukan oleh budaya. Bagaimana cara penguasa mengambil keputusan politiknya, tentu tidak bisa dipisahkan dengan budaya yang melekat di benak mereka. Apakah yang melekat itu banyak didominasi oleh wawasan lokal atau nasional, atau keduanya yang bersifat integrative. Itulah sebabnya, budaya memberikan ‘arah’ bagaimana manusia bertingkah laku dan bagaimana mereka merespon perubahan dalam masyarakat.
Dalam rangka merespon terhadap perubahan atau bertahan sekalipun, ragam budaya yang dianut manusia mewarnai perilaku mereka. Katakanlah ragam budaya jawa dan budaya luar jawa. Budaya jawa yang dikenal sebagai budaya tertutup, lebih banyak menggunakan tata cara berkomunikasi dengan tidak secara langsung dan lebih banyak dicerminkan lewat symbol – symbol. Oleh karena itu, dalam merespon perubahan biasanya lebih menggunakan kekuatan ‘endoginnya’ sehingga cenderung bertahan dan melakukan proses adaptasi yang cenderung lambat. Sedangkan, budaya luar jawa lebih banyak mewakili kebudayaan yang cenderung terbuka terhadap perubahan. Cara komunikasi dan interaksi yang menjadi acuan bagi individu tampak bersifat langsung tidak berbelit dan sedikit menggunakan symbol atau perlambang.
Karakteristik budaya tersebut menunjukkan aspirasi lokal yang tumbuh dan berkembang pada daerah – daerah tempat bangsa Indonesia berada. Pemahaman dan pengkajian secara cermat, kritis dan penuh kehati – hatian terhadap aspirasi budaya itu, akan menentukan proses interaksi social bagi masyarakat. Indonesia yang beraneka ragam. Oleh karena itu, aspirasi lokal akan menentukan bagi berkembangnya wawasan lokal yang sama pentingnya dengan wawasan nasional.
B.     Wawasan Lokal dan Wawasan Nasional
Wawasan lokal pada dasarnya menjadi cara pandang suatu bangsa yang di dalamnya menampakkan bagaimana suatu bangsa itu melakukan dialogis dengan kondisi geografis dan social budayanya. Wawasan nasional, juga diartikan sebagai cara pandang nasional yang merupakan salah satu gagasan falsafah hidup bangsa yang berisikan dorongan – dorongan (motives) dan rangsangan (drives) di dalam merealisasikan dan mencapai aspirasi serta tujuan nasionalnya.
Bangsa Indonesia telah memiliki wawasan nasional tersebut, yaitu wawasan ‘nusantara’. Wawasan itu, tidak saja berlatar filosofis dan normative, akan tetapi juga sekaligus sebagai analisis kajian empiric terhadap segala sesuatu yang menjadi realitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, wawasan nusantara (sebagai wawasan nasional) hendaknya diposisikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, yaitu sebagai cara pandang bangsa, aspek kewilayahan, dan wawasan pembangunan nasional. Implementasinya tidak saja sebagai pola piker yang didasarkan pada tata budaya dan tata krama nasional, akan tetapi juga dalam tata hokum nasional yang mencakup ke seluruh aspek kehidupan bangsa (ipoleksosbudhankam).
Namun demikian, dalam tatanan lokal (daerah) bangsa Indonesia memiliki apa yang disebut dengan ‘wawasan lokal’. Hal itu disebabkan bangsa Indonesia yang terdiri atas berbagai suku bangsa, yang memeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda – beda, berbicara dalam bahasa daerah yang berbeda – beda, memiliki adat – kebiasaan (budaya daerah) yang berbeda – beda pula.
Wawasan lokal dirasakan sangat perlu bagi kehidupan masyarakat di daerah karena dapat digunakan dalam sebuah masyarakat dan geografis yang berbeda – beda. Ini adalah sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri serta sebuah kenyataan yang memungkinkan tumbuh dan berkembangnya wawasan lokal dan menuju ke wawasan nasional.
Berkaitan dengan dua wawasan tersebut, hubungan wawasan nasional (wawasan nusantara) dengan wawasan lokal hendaknya tidak kita maknai sebagai sesuatu yang kontradiktif. Sebab, antara keduanya selalu memiliki hubungan yang erat dan tak terpisahkan. Munculnya keanekaragaman wawasan lokal jangan sampai sebagai sebab timbulnya perpecahan (disintegrasi) bangsa. Persoalannya sekarang, bagaimanakah eksistensi wawasan nasional itu, jika dikaitkan dengan keberadaan ‘wawasan lokal’ yang melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia yang serba majemuk (pluralistis) ini?
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, keberadaan wawasan nasional pada dasarnya digunakan sebagai ‘jembatan’ penghubung dan pemersatu bagi wawasan lokal yang terdapat di setiap daerah atau geografis nusantara. Jadi, wawasan lokal pada dasarnya boleh berbeda dengan wawasan nasional, namun harus ada jembatan yang menghubungkan kedua wawasan tersebut. Selanjutnya, wawasan lokal tidak boleh bertentangan dengan wawasan nasional, dalam arti tidak boleh keluar dari konteks wawasan nasional. Keberbedaan wawasan lokal dengan wawasan nasional, harus diartikan sebagai variasi dan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia yang diangkat dari keanekaragaman budaya yang ada. Dengan demikian, munculnya wawasan nasional merupakan resultante (hasil) interaksi dari wawasan lokal yang beranekaragam.
Konsekuensinya, perumusan kebijaksanaan nasional harus selalu memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal. Ragam kehidupan yang terjadi dalam sifat kemajemukan bangsa Indonesia, hendaknya patut ditangkap dan dimaknai secara kritis bahwa mereka saling memiliki ‘keunggulan’ di antara yang lain. Keunggulan inilah yang harus dijadikan sebagai wacana Negara (pemerintah) atau juga suku – suku bangsa di lingkungan wilayah Negara itu agar Negara atau suku bangsa tersebut itu sama – sama merasa memiliki nilai lebih dalam suasana kehidupan kebersamaan dan kekeluargaan. Kebijakan Negara tidak bisa hanya ditujukan kepada sebagian wilayah dan masyarakat tertentu saja. Selain itu, kebijakan pemerintah kiranya juga tidak benar jika diupayakan untuk ‘melebur’ berbagai perbedaan lokal menjadi wacana nasional yang bersifat ‘unifikatif’. Apabila hal itu dilaksanakan oleh Negara (pemerintah), sama halnya pemerintah (Negara) tidak menghormati aspirasi yang berkembang pada tingkat masyarakat lokal. Lebih parah lagi, ini menengarai munculnya suatu kebijakan yang tidak mendasarkan diri pada prinsip demokrasi dan keadilan, atau bahkan menunjukkan tidak adanya keberadaan (civilizing) Negara.
C.    Pemahaman Kritis Sara dalam Pluralitas Bangsa
Sara yang merupakan akronim dari suku, agama, ras, dan antargolongan adalah sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, Sara adalah gejala inherent (menyerta dan bersamaan) dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis. Lebih dari itu, Sara tampak menjadi kekayaan bangsa dan masyarakat Indonesia karena dengan itu masyarakat kita menjadi lebih variatif dan dinamis.
Namun demikian, tidak jarang muncul persepsi negative berkaitan dengan Sara. Barbagai konflik, kerusuhan dan gejolak social yang timbul di masyarakat kita, hampir semua dikaitkan dan bahkan dituduhkan pada persoalan Sara. Masyarakat cenderung tidak bergeming dari perspektif yang diyakini dalam memahami penyebab kerusuhan, kecuali Sara selalu dijadikan tersangka utamanya dan causa prima dari gejolak sosial masyarakat. Dampak sosiologis dari itu, kontruksi sosial Sara dalam masyarakat lebih didominasi oleh perspektif rezim. Karena Sara menurut Negara merupakan sumber perpecahan sosial maka mejadi suatu pengetahuan atau realitas yang ditabukan. Sara oleh mereka selalu dipandang sebagai potensi konflik dari pada energy politis yang mewujudkan demokrasi dan kemajemukan sosial.
Agar hal itu tidak muncul dalam praktik kehidupan, salah satu caranya adalah dengan meletakkan peran Negara sebagai fasilitator, dinamisator, dan stabilisator kekuatan – kekuatan yang ada dalam komponen Sara. Negara juga harus mampu menjembatani atau mengakomodasi setiap benturan kepentingan. Syaratnya, Negara harus benar – benar embedded (tertanam dan mengakar) dalam masyrakatnya sehingga setiap kebijakan yang ditelurkan selalu mewakili masyarakatnya (Notosusantos, 1997). Dengan kata lain, peran tersbut hanya bisa terjadi dalam Negara yang system politiknya bersifat demokratis. Dalam Negara yang monolitik maka realitas Sara cenderung dilenyapkan, tentu saja demi kepentingan sebuah rezim, lewat kekuatan dominasi atau bahkan salah satu elemennya, misalnya melakukan kooptasi dan depolitisasi agama. Sebagai contoh, agama tidak boleh digunakan sebagai sarana berpolitik, akan tetapi kenyataannya oleh penguasa, agama justru digunakan sebagai alat memobilisasi rakyat demi kepentingan rezim. Contoh lain, budaya sering diperpolitikkan oleh penguasa sehingga aspirasi pemilik dan pendukung budaya itu tidak tampak dan celakanya ekspresi budaya selalu berada dalam hegemoni Negara demi suksesnya ideology penguasa.


D.    Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional
Wawasan kebangsaan dan integrasi nasional merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Dia adalah ibarat ‘kepingan mata uang’ yang selalu menyatu dan saling menentukan kadar atau nilainya dalam pasar. Oleh karena itu, terbentuknya integrasi nasional yang kokoh akan banyak ditentukan oleh pengetahuan dan wawasan kebangsaan. Dengan kata lain, semakin kuat wawasan kebangsaan yang dimiliki oleh suatu bangsa akan semakin mantap pulalah integrasi nasionalnya. Dengan demikian, wawasan kebangsaan dan integrasi nasional adalah ‘kata kunci’ untuk membina dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam kaitan itu, ada beberapa factor yang perlu diperhatikan untuk membangun wawasan kebangsaan Indonesia yang ‘solid’ dan integrasi nasional yang mantap serta kokoh. Pertama, kemampuan dan kesadaran bangsa dalam mengelola perbedaan – perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan serta keanekaragaman budaya dan adat – istiadat yang tumbuh dan berkembang di wilayah nusantara. Perbedaan – perbedaan itu bukanlah sebagai suatu hal yang harus dipertentangkan, akan tetapi harus diartikan sebagai kekayaan dan potensi bangsa. Kedua, kemampuan mereaksi penyebaran ideology asing, dominasi ekonomi asing serta penyebaran globalisasi dalam berbagai aspeknya. Dunia memang selalu berubah seirama dengan perubahan masyarakat dunia. Bersamaan dengan itu, ideology dunia juga merambah ke kawasan global yang siap menyebarkan ‘virus’perubahannya ke seluruh penjuru dunia yang meliputi seluruh aspek kehidupan. Dalam kaitan ini, perwujudan wawasan kebangsaan dan integrasi nasional, terkadang sering goyah akibat tuntutan dunia yang tidak kenal batas itu. Persoalan yang perlu dicermati, bagaimana suatu bangsa mampu membangun wawasan nasional dan integrasi nasional dengan mantap dan kokoh sebagai modal dalam membangun sebuah ‘pendirian’ ketika isu – isu global itu mulai ditawarkan. Sebagai warga dunia setiap warga Negara dan bangsa hendaknya mampu berpikir kritis terhadap kemajuan dunia, agar mereka selalu memiliki world view (pandangan dunia) secara mantap dan tidak ketinggalan oleh kemajuan bangsa – bangsa lain. Namun demikian perspektif global juga tidak lepas dengan sebuah paradoks, yang kadang bisa membingungkan masyarakat dunia. Dalam rangka ini, kematangan pendirian sebuah bangsa menjadi penting, karena dengan itu, suatu bangsa mampu melakukan pilihan – pilihan secara rasional (rational choices) terhadap apa yang sedang muncul sebagai ‘gebyar zaman’ (dunia). Posisi lokal hendaknya juga perlu diperhatikan dalam menentukan pendirian bangsa Indonesia atas semangat kebangsaannya. Abad ke-21, millennium baru yan bercirikan liberalisasi dan perdangan serta mendewa – dewakan budaya global itu, bisa melanda bangsa – bangsa yang melewah wawasan kebangsaannya. Itulah sebabnya, mantra abad baru sebagaimana dikemukakan oleh John Neisbiett (1994) yang berbunyi “berpikirlah lokal, bertindaklah global” (think lokally, act globally), menjadi penting diterapkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Mantra itu, sebagai kebalikan dari prase lama, yaitu “berpikirlah global, bertindaklah lokal” (thik globally, act lokally). Sebab, menurutnya, pola ‘berpikir lokal, bertindak global’, hanya bisa dilakukan oleh bangsa yang kuat semangat kebangsaannya. Sebagai ilustrasi, misalnya Jepang, dengan budaya yang paling homogeny itu, telah bekerja luar biasa baiknya dalam berpikir secara lokal dan bertindak secara global selama bertahun – tahun. Ketiga, membangun system politik dan pemerintahan yang sesuai dengan ideology nasional (Pancasila) dan konstitusi UUD 1945. Keempat, menyelenggarakan ‘proyek budaya’ dengan cara melakukan pemahaman dan sosialisasi terhadap symbol – symbol identitas nasional, misalnya: Bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya, bendera Merah Putih dan Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persoalannya sekarang, integrasi nasional yang seperti apa yang hendak kita kembangkan di Indonesia, yang masyarakatnya bersifat majemuk (pluralistis) itu? Beranalog dengan konsep wawasan kebangsaan tadi, integrasi nasional hendaknya juga diartikan bukan sebagai benda akan tetapi harus diartikan sebagai ‘semangat’ untuk melakukan penyatuan terhadap unsur – unsur dan potensi masyarakat Indonesia yang beranekaragam. Dengan demikian, integrasi nasional di Indonesia, bukanlah sebuah ‘peleburan’ yang sifatnya ‘unifikatif’, akan tetapi lebih tepat disebut dengan integrasi nasional yang bersifat ‘diversifikatif’ (pembedaan). Dengan cara itu, perbedaan tetap diakui karena masyarakat akan bebas berekspresi selaras dengan aspirasi dan way of life yang diangkat dari nilai – nilai moral yang bersumber dari budaya daerah setempat (lokal). Disamping itu, integrasi nasional yang diversifikatif lebih tampak demokratis, dari pada integrasi nasional yang unifikatif yang justru mengarah pada perkosaan HAM dan memungkiri realitas perbedaan. Integrasi nasional yang diversifikatif lebih sesuai dengan semboyan bangsa kita dalam lambang Negara Garuda Pancasila, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”, yang artinya yang berbeda – beda itu pada hakikatnya adalah satu.
E.     Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia
Nasionalisme dan Negara – bangsa (nation state) sebagai wadah organisasi sosial yang membungkusnya, merupakan dua kekuatan terbesar di dunia. Keduanya mampu mendominasi wacana politik dunia selama abad ke-20 secara bertahap tetapi pasti, sekarang mulai berhadapan dengan sejumlah tantangan yang menempatkan keduanya dalam posisi yang cukup sulit.
Kajian atas nasionalisme dan bangsa, juga Negara – bangsa, hingga kini masih tetap menjadi perdebatan oleh para ahli. Bagi sejumlah ahli, bangsa dan kesadaran berbangsa diyakini merupakan representasi atau perwakilan dari Negara masa lalu yang terikat dalam upaya – upaya realisasi diri. Bangsa dalam makna ini adalah suatu entitas primodial yang merupakan bawaan yang melekat dalam nature dan sejarah manusia. Secara objektif, suatu bangsa dapat diidentifikasi lewat perbedaan – perbedaannya dengan bangsa lain dalam hal cara pandang, keterikatan dengan tanah air, dan perjuangan – perjuangan untuk mendapatkan otonomi politik.
Namun demikian, rumusan yang pasti mengenai nasionalisme dan Negara – bangsa sangat sulit untuk digagaskan. Tetapi, jika diperhatikan arena persemaian awal, konsepsi tentang nasionalisme dan Negara – bangsa diikuti logika dibalik kehadiran nasionalisme dan Negara – bangsa yang tumbuh di Negara – Negara bekas jajahan, kita akan menemukan bahwa keduanya pada dasarnya adalah fakta perjanjian antara warga yang berdaulat dengan Negara (Lay, 1997).
Nasionalisme dan Negara – bangsa secara radikal telah merombak struktur kesetiaan politik rakyat dari kesetiaan kepada dinasti menjadi prinsip kedaulatan rakyat. Ia juga telah merombak secara radikal struktur kesetiaan pada tuan penjajah untuk digantikan dengan gagasan tentang kewarganegaraan. Oleh karena itu, nasionalisme telah mentransformasikan masyarakat dan individu dari posisi sebagai subjek pasif dalam politik menjadi warga Negara aktif yang mampu mengatur diri sendiri.
Dengan demikian, nasionalisme dan Negara – bangsa bukan saja memperhatikan kesejajaran antara massa rakyat dengan penguasa, tetapi sekaligus di dalamnya melekat impian – impian (harapan dan aspirasi) massa rakyat yang harus diwujudkan. Substansi nasionalisme dan Negara – bangsa mencakup antara lain mengenai demokrasi, keadilan sosial, kesejahteraan, dan HAM. Oleh karena itu, mustahil berbicara nasionalisme dan Negara – bangsa tanpa mengaitkan dengan isu – isu di atas.
Jika gagasan nasionalisme dan Negara – bangsa di atas dicermati, logikanya sangat sedikit orang tidak sepakat akan keduanya. Di dalam konsep nasionalisme dan negar bangsa melekat semua nilai – nilai kemanusiaan tertinggi yang ingin dicapai oleh setiap peradaban manusia. Tetapi seperti terungkap pada tingkat praktis dalam masyarakat politik Indonesia, nasionalisme bisa dengan mudah melahirkan penolakan atau sinisme di kalangan masyarakat. Nasionalisme secara politik agar ‘menerima’ sesuatu atau ‘menerima’ sesuatu yang bertentangan dengan hati nurani dan aspirasinya.
Dalam konteks ‘menjauhi’ dan ‘menerima’ tersebut, nasionalisme Indonesia, sering mengalami hambatan di hadapan massa rakyat dan pemerintahnya sendiri. Dalam kaitan ini, (Cornelis Lay 1997) sempat mengidentifikasi, yang antara lain disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama, berkaitan dengan pemahamannya yang mendalam sebagai suatu ideology. Ia bahkan dipahami sebatas sebagai salah satu dari aliran politik yang pernah malang – melintang di rimba raya politik (masa lalu) Indonesia. ‘Dikerangkengnya’ nasionalisme Indonesia dalam salah satu kekuatan politik di masa lalu (baca:PNI zaman Orla), telah mewarnai dan memerosotkan posisi nasionalisme sampai pada fase sebatas sebagai aliran politik. Padahal, nasionalisme bukan semata – mata berfungsi sebagai ideology. Sekalipun, ia merupakan gejala yang mudah ditemui di sembarang belahan dunia, dan sekalipun, ia menduduki dasar moral dan emosi seperti halnya dengan ideology, ia tidak memiliki prinsip – prinsip universalitas – seperti sosialisme atau kapitalisme misalnya – yang memungkinnya untuk diklaim semata – mata sebagai ideology.
Dalam sejarha politik masa lalu Indonesia, kita mengetahui bahwa berbagai aliran politik, termasuk nasionalisme, yang tumbuh pada waktu itu terlibat dalam ‘perang’ dan ‘konflik’ tanpa henti. Oleh karena itu, ketika nasionalisme dimengerti sebatas sebagai salah satu dari aliran politik di Indonesia, ia dengan mudah akan diperlakukan sebagai lawan aliran oleh aliran politik lainnya.
Kedua, berkaitan dengan praksis nasionalisme yang mengikuti logika nasionalisme internal. Jenis nasionalisme itu, memberikan penekanan pada superioritas dan keabsahan Negara atas warganya dan mengabaikan substansi dari nasionalisme sebagai suatu ‘pakta perjanjian’ antara warga negara dengan negara. Padahal, sebagai ‘pakta perjanjian’ nasionalisme harus menekankan bukan saja bahwa warga negara – bangsa memiliki hak untuk merdeka lewat negara, tetapi yang bersangkutan juga memiliki hak yang sebanding untuk mengekspresikan diri, mendapatkan kemerdekaan dan kemungkinan untuk berkembang. Bung Karno, telah sejak dini, menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya sebatas sebagai ‘jembatan emas’. Oleh karena itu, di dalam negara Indonesia yang merdeka, terletak kewajiban bagi negara dan kita untuk memerdekakan setiap individu. Dengan demikian, bukan semata – mata kemerdekaan bangsa yang menjadi pusat perhatian nasionalisme, akan tetapi sekaligus kemerdekaan individu yang menjadi warga dari bangsa yang bersangkutan.
Ketiga, bertalian dengan kenyataan bahwa nasionalisme kadang digunakan sebagai sarana untuk mengabsahkan atau membela sesuatu yang bertentangan dengan logika. Kita sering berhadapan dengan kenyataan bahwa atas nama nasionalisme kita diharuskan untuk membenarkan langkah – langkah yang bahkan merugikan bangsa secara keseluruhan. Banyak contoh kasus di sekitar kita, dimana nasionalisme secara gegabah telah digunakan untuk melegalisasi hal – hal yang sebenarnya tidak punya kaitan dengan kepentingan negara dan bangsa. Misalnya, kasus penggusuran demi pembangunan nasional, jika menolak penggusuran brarti tidak pembangun dan anti nasionalis.
Berdasarkan hambatan – hambatan di atas, persoalan pokok nasionalisme di Indonesia pada dewasa ini adalah, bagaimana rakyat bisa diberdayakan. Hal itu sesuai dengan cita – cita reformasi total terutama dalam rangka pemberdayaan civil society (masyarakat sipil).
Tercantumnya hak – hak individu (warga negara) dalam sebuah konstisusi (UUD 1945) belum tentu menjamin apakah kebijakan pemerintah mampu memberdayakan potensi bangsa yang melekat pada masyarakat atau rakyat. Hal itu menuntut adanya kemauan dan kesadaran negara (pemerintah) bahwa keberadaannya di dalam organisasi ini adalah semata – mata untuk mengemban ‘misi suci’, yaitu menciptakan kesejahteraan umum. Oleh karena itu, kinerja pemerintah dalam membuat kebijakan akan sangat berpengaruh bagi dampak kebijakan itu, apakah mampu memberdayakan rakyat atau masyarakat sipil atau bahkan terjadi sebaliknya, justru mengarah pada dominasi negara (pemerintah) terhadap masyarakat sipil.
Pemberdayaan masyarakat sipil, pada dasarnya juga merupakan proyek kebudayaan (cultural) yang harus diciptakan oleh bangsa dalam menyongsong format Indonesia baru dan nasionalisme Indonesia. Salah satu cirinya, adalah terdapatnya ruang public, dimana semua orang harus mampu tumbuh dan mengaktualisasi diri serta mandiri dan sukarela untuk mengambil bagian dalam pemerintahan. Perilaku setiap warga negara dan pemerintahnya terikat oleh dan harus tunduk pada hukum yang dihasilkan oleh sebuah perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Untuk menciptakan masyarakat yang berkeadaan (termasuk juga negara atau pemerintah yang beradab) merupakan rangkaian perjuangan untuk selalu menegakkan prinsip – prinsip keadilan dan menempatkan komponen masyarakat dan negara dalam suatu kesederajatan. Jika hal itu disadari oleh seluruh komponen bangsa (baca: pemerintah dan rakyatnya), cita – cita reformasi akan segera terwujud begitu juga nasionalisme bangsa Indonesia akan semakin menjadi kokoh.



















BAB III
KESIMPULAN

Masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis ditandai oleh beberapa factor, yang antara lain perbedaan suku bangsa, agama, ras/etnis, dan antargolongan. Sebagai konsekuensi masyarakat yang pluralistis, masyarakat Indonesia secara cultural memiliki kebudayaan local yang beranekaragam. Kondisi demikian, boleh jadi melahirkan berbagai wawasan local yang berkembang di berbagai daerah nusantara, yang digunakan dalam membangun wawasan nasional, sebagaimana dikenal sebagai wawasan nusantara. Persoalan yang berkaitan dengan Sara (suku, agama, ras dan antargolongan), hendaknya dipandang secara positif, yaitu sebagai energy demokrasi atau kemajemukan masyarakat Indonesia dan bukan dikatakan sebagai sumber konflik. Manajemen konflik yang mungkin timbul dari perbedaan Sara harus dipahami secara kritis agar tidak menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, bangunan wawasan kebangsaan yang dipetakan dari keanekaragaman wawasan local dan Sara di Indonesia, akan menentukan bagi keberhasilan upaya integrasi nasional dan sekaligus juga pemaknaan bagi paham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia.

2 komentar:

  1. Selamat Datang di Website OM ARIF
    Izinkan kami membantu anda
    semua dengan Angka ritual Kami..
    Kami dengan bantuan Supranatural
    Bisa menghasilkan Angka Ritual Yang Sangat
    Mengagumkan…Bisa Menerawang
    Angka Yang Bakal Keluar Untuk Toto Singapore
    Maupun Hongkong…Kami bekerja tiada henti
    Untuk Bisa menembus Angka yang bakal Keluar..
    dengan Jaminan 100% gol / Tembus…!!!!,hb=082=337=039=447
    Tapi Ingat Kami Hanya Memberikan Angka Ritual
    Kami Hanya Kepada Anda Yang Benar-benar
    dengan sangat Membutuhkan
    Angka Ritual Kami .. Kunci Kami Anda Harus
    OPTIMIS Angka Bakal Tembus…Hanya
    dengan Sebuah Optimis Anda bisa Menang…!!!
    Apakah anda Termasuk dalam Kategori Ini
    1. Di Lilit Hutang
    2. Selalu kalah Dalam Bermain Togel
    3. Barang berharga Anda udah Habis Buat Judi Togel
    4. Anda Udah ke mana-mana tapi tidak menghasilkan Solusi yang

    Jangan Anda Putus Asa…Anda udah
    berada Di blog yang sangat Tepat..
    Kami akan membantu anda semua dengan
    Angka Ritual Kami..Anda
    Cukup Mengganti Biaya Ritual Angka Nya
    Saja… Jika anda Membutuhkan Angka Ghoib
    Hasil Ritual Dari=OM ARIF 2D,3D,4D
    di jamin Tembus 100% silahkan:
    Hub : (OM ARIF)
    (082=337=039=447)
    Adapun Besar Pergantian
    Biayanya tergantung Paket Yang kami berikan
    ReplyDelete

    BalasHapus
  2. KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل



    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل

    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل


    BalasHapus