BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang sangat beragam. Dimana akan banyak sekali masalah yang
timbul dengan adanya perbedaan yang semakin beragam. Tidak hanya itu saja,
munculnya bebagai golongan yang didasarkan atas suku, agama, ras/etnis membuat
bangsa Indonesia menjadi lebih sendiri-sendiri. Keberagaman bangsa Indonesia
telah sampai pada partai politik.
Melihat hal tersebut kita juga harus dapat berfikir kritis
dengan adanya masalah yang ada disekitar kita. Namun, kita juga perlu memiliki
wawasan local dan wawasan nasional untuk menunjangnya. Dengan begitu,
kita pasti akan tahu bagaimana cara menangani masalah yang ada.
kita pasti akan tahu bagaimana cara menangani masalah yang ada.
Rasa nasionalisme yang semakin menurun menuntut kita untuk
dapat memahami apa arti nasionalisme yang sesungguhnya. Dalam makalah ini kita
akan sedikit mengupas apa arti nasionalisme yang sesungguhnya. Rasa
nasionalosme akan tumbuh apabila kita memiliki wawasan yang luas mengenai
bangsa kita sendiri. Wawasan yang dimaksud antara lain wawasan local dan wawasan
nasional. Keduanya merupakan syarat penting dalam memahami apa saja yang ada
didalam bagsa kita tercinta ini.
Disamping itu kita juga harus tahu Wawasan
Kebangsaan dan Integrasi Nasional
1.2
Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud masyarakat Indonesia
yang bersifat pluralistic?
2. Apa yang dimaksud Wawasan Lokal dan
Wawasan Nasional?
3. Bagaimana Pemahaman Kritis Sara dalam
Pluralitas Bangsa?
4. Apa yang dimaksud Wawasan Kebangsaan dan
Integrasi Nasional?
5. Bagaimana makna Nasionalisme dalam
Perspektif Indonesia?
1.3
Tujuan
1. Untuk dapat mendeskripsikan kondisi
masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistic
2. Untuk dapat menjelaskan hubungan antara Wawasan
Lokal dan Wawasan Nasional
3. Untuk dapat melakukan analisis kritis Sara
dalam Pluralitas Bangsa
4. Untuk dapat menjelaskan hubungan antara Wawasan
Kebangsaan dan Integrasi Nasional
5. Untuk dapat menjelaskan makna
Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia
1.4
Manfaat
1.4.1 Bagi Mahasiswa
1. Menambah wawasan mahasiswa tentang cara
pandang local dalam konteks wawasan kebangsaan
2. Menjawab rasa keingintahuan tentang cara
pandang local dalam konteks wawasan kebangsaan
3. Memancing minat mahasiswa untuk lebih
aktif menulis makalah.
1.4.2 Bagi Penulis
1. Menambah wawasan penulis tentang cara
pandang local dalam konteks wawasan kebangsaan
2. Menambah wawasan penulis tentang pembuatan
makalah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Pluralistik
Masyarakat Indonesia adalah
masyarakat yang majemuk (pluralitas). Kemajemukan masyarakat Indonesia itu
ditandai oleh beberapa faktor yang antara lain oleh perbedaan suku, agama,
ras/etnis dan antara golongan serta budaya local yang beraneka ragam. Sebagai
konsekuensi masyarakat yang pluralitas, masyarakat Indonesia secara kultural
memiliki kebudayaan yang bersifat mejemuk (kebhinekaan).
Dan jika kita kaji secara mendalam, kemajemukan budaya tidak saja memiliki
makna sosial, akan tetapi juga memiliki makna politis. Hal ini disebabkan bukan
saja karena setiap etnik mempunyai daerah
otonomi yang jelas dan batas – batasnya,
melainkan juga memiliki kultur politik (politic culture) yang beragam. Dalam
kondisi variasi kultur ini, kultur politik yang berkembang pada masyarakat
local bisa sama dan bisa berbeda dengan kultur politik Negara. Pernyataan ini
mengisyaratkan kepada kita bahwa persoalan kebudayaan tidak saja penting
menjadi agenda masyarakat lokal akan tetapi juga penting menjadi tanggung jawab
pemerintah (negara). Dan, itu terkadang bisa menyebabkan hubungan antara
masyarakat lokal dan Negara menjadi tidak seimbang, lantaran terdapatnya
benturan nilai – nilai cultural rakyat dan nilai yang dikembangkan sebagai
kultur Negara.
Dalam
hubungannya dengan masyarakat majemuk, Berghe (dalam Nasikun, 1993)
mengidentifikasi karakteristiknya meliputi:
(1)
terjadi segmentasi ke dalam bentuk kelompok – kelompok yang memiliki
subkebudayaan yang berbeda satu sama lain,
(2) memiliki struktur social yang terbagi
dalam lembaga – lembaga yang bersifat non-komplementer,
(3)
kurangnya mengembangkan consensus di antara para anggota terhadap nilai – nilai
yang bersifat mendasar,
(4)
secara relative sering mengalami konflik di antara kelompok dengan kelompok
lain,
(5)
secara relative integrasi social tumbuh di atas paksaan (coercion) dan saling ketergantungan, dan
(6)
adanya dominasi politik oleh suatu kelompok atas kelompok – kelompok lain.
Dalam
kaitan itu, ketika persoalan kebudayaan dipandang penting sebagai agenda
pemerintah dan demikian seringnya persoalan kebudayaan dimasukkan ke dalam
konteks kehidupan berbangsa, berakibat penganan masalah kebudayaan berubah
menjadi argument politik pemerintah. Dalam kasus Negara kita, kebudayaan
politik (political culture) sebagian
besar ditandai oleh usaha pemerintah untuk mencapai politik kebudayaan (cultural politics). Berkaitan dengan dua
konsep itu, Emersen (dalam Egnas Kleden, 1987) menegaskan bahwa kebudayaan
politik adalah orientasi budaya kelompok elite politik yang sangat menentukan
orientasi politik mereka sendiri, sedangkan politik kebudayaan menunjuk kepada
kenyataan di mana perbedaan – perbedaan kebudayaan diperpolitikkan dan
perbedaan politik diungkapkan dalam idiom – idiom kebudayaan.
Perlu
disadari, bahwa dalam konteks bangsa dan Negara Indonesia, aspirasi budaya lokal
merupakan sebuah potensi bangsa yang sangat bermakna bagi pembangunan nasional,
terutama bagi nation and character
building Indonesia. Oleh karena itu, lembaga – lembaga kenegaraan
seyogianya berkonsentrasi penuh dalam memahami hal tersebut. Secara politik,
lembaga kenegaraan berperan dalam culture
broken (pialang budaya) antara Negara dengan entitas budaya masyarakat lokal
yang beragam. Pentingnya posisi ‘penghubung’ dalam menjembatani antara dua kubu
Negara dan masyarakat, elite dengan massa, logika nasional dan logika lokal
(daerah) menjadi keharusan yang dilakukan bagi para pengambil keputusan dan
penentu ara pembangunan.
Selain faktor politik, budaya sangat
berpengaruh terhadap kehidupan suatu masyarakat, khususnya bagi pengembangan
itu sendiri. Clifford Geertz (dalam Ali, 1997) mengatakan bahwa budaya
merupakan way of life, suatu petunjuk bagi tindakan dan tingkah laku manusia,
yaitu ekspresi nilai – nilai dan cita – citanya. Sementara itu, E.B Tylor
mengartikan budaya sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, kesusilaan, hukuum, adat istiadat, serta kemampuan – kemampuan,
dan kebiasaan lalinnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota masyarakat
(Koentjaraningrat, 1982). Selain itu, Kroeber dan Kluckhohn (dalam Mulyana,
1993) mendefinisikan budaya sebagai pola (pattern) yang eksplisit dan implisit
dalam prilaku manusia yang dipelajari dan diwariskan melalui simbol – simbol
yang merupakan prestasi khas manusia, termasuk perwujudannya dalam benda –
benda budaya. Sebagai suatu pola, budaya selalu mengacu pada system pengetahuan
dan kepercayaan yang disusun sebagai pedoman manusia dalam mengatur pengalaman
dan persepsi mereka dalam menentukan tindakan dan memilih di antara alternative
yang ada.
Senada dengan itu, Philips R. Harris
(dalam Mulyana, 1993) mengatakan bahwa budaya adalah gaya hidup kelompok
manusia tertentu. Oleh karena itu, budaya member identitas kepada sekelompok
orang. Dia memiliki karakteristik yang terjabar dalam aspek – aspek budayanya,
misalnya bahasa, pakaian, penampilan, kebiasaan makan, nilai dan norma,
kepercayaan dan sebagainya.
Budaya memang
sangat erat dengan kehidupan manusia, mulai dari gagasan, pola aktivitas
tingkah laku sampai dengan produk benda – benda budaya. Demikian halnya dengan
kehidupan politik. Tingkah laku manusia dan pilihan – pilihan politiknya banyak
ditentukan oleh latar belakang budaya atau bahkan orientasi politik pun sangat
ditentukan oleh budaya. Bagaimana cara penguasa mengambil keputusan politiknya,
tentu tidak bisa dipisahkan dengan budaya yang melekat di benak mereka. Apakah
yang melekat itu banyak didominasi oleh wawasan lokal atau nasional, atau
keduanya yang bersifat integrative. Itulah sebabnya, budaya memberikan ‘arah’
bagaimana manusia bertingkah laku dan bagaimana mereka merespon perubahan dalam
masyarakat.
Dalam rangka
merespon terhadap perubahan atau bertahan sekalipun, ragam budaya yang dianut
manusia mewarnai perilaku mereka. Katakanlah ragam budaya jawa dan budaya luar
jawa. Budaya jawa yang dikenal sebagai budaya tertutup, lebih banyak
menggunakan tata cara berkomunikasi dengan tidak secara langsung dan lebih
banyak dicerminkan lewat symbol – symbol. Oleh karena itu, dalam merespon
perubahan biasanya lebih menggunakan kekuatan ‘endoginnya’ sehingga cenderung
bertahan dan melakukan proses adaptasi yang cenderung lambat. Sedangkan, budaya
luar jawa lebih banyak mewakili kebudayaan yang cenderung terbuka terhadap
perubahan. Cara komunikasi dan interaksi yang menjadi acuan bagi individu
tampak bersifat langsung tidak berbelit dan sedikit menggunakan symbol atau
perlambang.
Karakteristik
budaya tersebut menunjukkan aspirasi lokal yang tumbuh dan berkembang pada
daerah – daerah tempat bangsa Indonesia berada. Pemahaman dan pengkajian secara
cermat, kritis dan penuh kehati – hatian terhadap aspirasi budaya itu, akan
menentukan proses interaksi social bagi masyarakat. Indonesia yang beraneka
ragam. Oleh karena itu, aspirasi lokal akan menentukan bagi berkembangnya
wawasan lokal yang sama pentingnya dengan wawasan nasional.
B.
Wawasan Lokal dan Wawasan Nasional
Wawasan
lokal pada dasarnya menjadi cara pandang suatu bangsa yang di dalamnya
menampakkan bagaimana suatu bangsa itu melakukan dialogis dengan kondisi
geografis dan social budayanya. Wawasan nasional, juga diartikan sebagai cara
pandang nasional yang merupakan salah satu gagasan falsafah hidup bangsa yang
berisikan dorongan – dorongan (motives)
dan rangsangan (drives) di dalam
merealisasikan dan mencapai aspirasi serta tujuan nasionalnya.
Bangsa
Indonesia telah memiliki wawasan nasional tersebut, yaitu wawasan ‘nusantara’. Wawasan
itu, tidak saja berlatar filosofis dan normative, akan tetapi juga sekaligus
sebagai analisis kajian empiric terhadap segala sesuatu yang menjadi realitas
bangsa Indonesia. Oleh karena itu, wawasan nusantara (sebagai wawasan nasional)
hendaknya diposisikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia, yaitu sebagai cara pandang bangsa, aspek kewilayahan, dan wawasan
pembangunan nasional. Implementasinya tidak saja sebagai pola piker yang
didasarkan pada tata budaya dan tata krama nasional, akan tetapi juga dalam
tata hokum nasional yang mencakup ke seluruh aspek kehidupan bangsa
(ipoleksosbudhankam).
Namun
demikian, dalam tatanan lokal (daerah) bangsa Indonesia memiliki apa yang
disebut dengan ‘wawasan lokal’. Hal itu disebabkan bangsa Indonesia yang
terdiri atas berbagai suku bangsa, yang memeluk agama dan kepercayaan
terhadap Tuhan Yang Maha Esa yang berbeda – beda, berbicara dalam bahasa daerah
yang berbeda – beda, memiliki adat – kebiasaan (budaya daerah) yang berbeda –
beda pula.
Wawasan
lokal dirasakan sangat perlu bagi kehidupan masyarakat di daerah karena dapat
digunakan dalam sebuah masyarakat dan geografis yang berbeda – beda. Ini adalah
sebuah realitas yang tidak dapat dipungkiri serta sebuah kenyataan yang
memungkinkan tumbuh dan berkembangnya wawasan lokal dan menuju ke wawasan
nasional.
Berkaitan
dengan dua wawasan tersebut, hubungan wawasan nasional (wawasan nusantara)
dengan wawasan lokal hendaknya tidak kita maknai sebagai sesuatu yang
kontradiktif. Sebab, antara keduanya selalu memiliki hubungan yang erat dan tak
terpisahkan. Munculnya keanekaragaman wawasan lokal jangan sampai sebagai sebab
timbulnya perpecahan (disintegrasi) bangsa. Persoalannya sekarang, bagaimanakah
eksistensi wawasan nasional itu, jika dikaitkan dengan keberadaan ‘wawasan
lokal’ yang melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia yang serba majemuk
(pluralistis) ini?
Dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia, keberadaan wawasan nasional pada
dasarnya digunakan sebagai ‘jembatan’ penghubung dan pemersatu bagi wawasan lokal
yang terdapat di setiap daerah atau geografis nusantara. Jadi, wawasan lokal
pada dasarnya boleh berbeda dengan wawasan nasional, namun harus ada jembatan
yang menghubungkan kedua wawasan tersebut. Selanjutnya, wawasan lokal tidak
boleh bertentangan dengan wawasan nasional, dalam arti tidak boleh keluar dari
konteks wawasan nasional. Keberbedaan wawasan lokal dengan wawasan nasional,
harus diartikan sebagai variasi dan kekayaan yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia yang diangkat dari keanekaragaman budaya yang ada. Dengan demikian,
munculnya wawasan nasional merupakan resultante
(hasil) interaksi dari wawasan lokal yang beranekaragam.
Konsekuensinya,
perumusan kebijaksanaan nasional harus selalu memperhatikan aspirasi yang
berkembang dalam kehidupan masyarakat lokal. Ragam kehidupan yang terjadi dalam
sifat kemajemukan bangsa Indonesia, hendaknya patut ditangkap dan dimaknai
secara kritis bahwa mereka saling memiliki ‘keunggulan’ di antara yang lain.
Keunggulan inilah yang harus dijadikan sebagai wacana Negara (pemerintah) atau
juga suku – suku bangsa di lingkungan wilayah Negara itu agar Negara atau suku
bangsa tersebut itu sama – sama merasa memiliki nilai lebih dalam suasana
kehidupan kebersamaan dan kekeluargaan. Kebijakan Negara tidak bisa hanya
ditujukan kepada sebagian wilayah dan masyarakat tertentu saja. Selain itu,
kebijakan pemerintah kiranya juga tidak benar jika diupayakan untuk ‘melebur’
berbagai perbedaan lokal menjadi wacana nasional yang bersifat ‘unifikatif’.
Apabila hal itu dilaksanakan oleh Negara (pemerintah), sama halnya pemerintah
(Negara) tidak menghormati aspirasi yang berkembang pada tingkat masyarakat lokal.
Lebih parah lagi, ini menengarai munculnya suatu kebijakan yang tidak
mendasarkan diri pada prinsip demokrasi dan keadilan, atau bahkan menunjukkan
tidak adanya keberadaan (civilizing)
Negara.
C.
Pemahaman Kritis Sara dalam Pluralitas Bangsa
Sara
yang merupakan akronim dari suku, agama, ras, dan antargolongan adalah sebuah
fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan masyarakat
Indonesia. Dengan kata lain, Sara
adalah gejala inherent (menyerta dan
bersamaan) dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis. Lebih
dari itu, Sara tampak menjadi kekayaan bangsa dan masyarakat Indonesia karena
dengan itu masyarakat kita menjadi lebih variatif dan dinamis.
Namun
demikian, tidak jarang muncul persepsi negative berkaitan dengan Sara. Barbagai
konflik, kerusuhan dan gejolak social yang timbul di masyarakat kita, hampir
semua dikaitkan dan bahkan dituduhkan pada persoalan Sara. Masyarakat cenderung
tidak bergeming dari perspektif yang diyakini dalam memahami penyebab
kerusuhan, kecuali Sara selalu dijadikan tersangka utamanya dan causa prima dari gejolak sosial
masyarakat. Dampak sosiologis dari itu, kontruksi sosial Sara dalam masyarakat
lebih didominasi oleh perspektif rezim. Karena Sara menurut Negara merupakan
sumber perpecahan sosial maka mejadi suatu pengetahuan atau realitas yang
ditabukan. Sara oleh mereka selalu dipandang sebagai potensi konflik dari pada
energy politis yang mewujudkan demokrasi dan kemajemukan sosial.
Agar
hal itu tidak muncul dalam praktik kehidupan, salah satu caranya adalah dengan
meletakkan peran Negara sebagai fasilitator, dinamisator, dan stabilisator
kekuatan – kekuatan yang ada dalam komponen Sara. Negara juga harus mampu
menjembatani atau mengakomodasi setiap benturan kepentingan. Syaratnya, Negara
harus benar – benar embedded
(tertanam dan mengakar) dalam masyrakatnya sehingga setiap kebijakan yang
ditelurkan selalu mewakili masyarakatnya (Notosusantos, 1997). Dengan kata
lain, peran tersbut hanya bisa terjadi dalam Negara yang system politiknya
bersifat demokratis. Dalam Negara yang monolitik maka realitas Sara cenderung
dilenyapkan, tentu saja demi kepentingan sebuah rezim, lewat kekuatan dominasi
atau bahkan salah satu elemennya, misalnya melakukan kooptasi dan depolitisasi
agama. Sebagai contoh, agama tidak boleh digunakan sebagai sarana berpolitik,
akan tetapi kenyataannya oleh penguasa, agama justru digunakan sebagai alat
memobilisasi rakyat demi kepentingan rezim. Contoh lain, budaya sering
diperpolitikkan oleh penguasa sehingga aspirasi pemilik dan pendukung budaya
itu tidak tampak dan celakanya ekspresi budaya selalu berada dalam hegemoni
Negara demi suksesnya ideology penguasa.
D.
Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional
Wawasan
kebangsaan dan integrasi nasional merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Dia adalah ibarat ‘kepingan mata uang’ yang selalu menyatu dan saling
menentukan kadar atau nilainya dalam pasar. Oleh karena itu, terbentuknya
integrasi nasional yang kokoh akan banyak ditentukan oleh pengetahuan dan
wawasan kebangsaan. Dengan kata lain, semakin kuat wawasan kebangsaan yang
dimiliki oleh suatu bangsa akan semakin mantap pulalah integrasi nasionalnya.
Dengan demikian, wawasan kebangsaan dan integrasi nasional adalah ‘kata kunci’
untuk membina dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa.
Dalam
kaitan itu, ada beberapa factor yang perlu diperhatikan untuk membangun wawasan
kebangsaan Indonesia yang ‘solid’ dan integrasi nasional yang mantap serta
kokoh. Pertama, kemampuan dan kesadaran bangsa dalam mengelola perbedaan –
perbedaan suku, agama, ras dan antargolongan serta keanekaragaman budaya dan
adat – istiadat yang tumbuh dan berkembang di wilayah nusantara. Perbedaan – perbedaan
itu bukanlah sebagai suatu hal yang harus dipertentangkan, akan tetapi harus
diartikan sebagai kekayaan dan potensi bangsa. Kedua, kemampuan mereaksi
penyebaran ideology asing, dominasi ekonomi asing serta penyebaran globalisasi
dalam berbagai aspeknya. Dunia memang selalu berubah seirama dengan perubahan
masyarakat dunia. Bersamaan dengan itu, ideology dunia juga merambah ke kawasan
global yang siap menyebarkan ‘virus’perubahannya ke seluruh penjuru dunia yang
meliputi seluruh aspek kehidupan. Dalam kaitan ini, perwujudan wawasan
kebangsaan dan integrasi nasional, terkadang sering goyah akibat tuntutan dunia
yang tidak kenal batas itu. Persoalan yang perlu dicermati, bagaimana suatu
bangsa mampu membangun wawasan nasional dan integrasi nasional dengan mantap
dan kokoh sebagai modal dalam membangun sebuah ‘pendirian’ ketika isu – isu
global itu mulai ditawarkan. Sebagai warga dunia setiap warga Negara dan bangsa
hendaknya mampu berpikir kritis terhadap kemajuan dunia, agar mereka selalu
memiliki world view (pandangan dunia)
secara mantap dan tidak ketinggalan oleh kemajuan bangsa – bangsa lain. Namun
demikian perspektif global juga tidak lepas dengan sebuah paradoks, yang kadang
bisa membingungkan masyarakat dunia. Dalam rangka ini, kematangan pendirian
sebuah bangsa menjadi penting, karena dengan itu, suatu bangsa mampu melakukan
pilihan – pilihan secara rasional (rational
choices) terhadap apa yang sedang muncul sebagai ‘gebyar zaman’ (dunia).
Posisi lokal hendaknya juga perlu diperhatikan dalam menentukan pendirian
bangsa Indonesia atas semangat kebangsaannya. Abad ke-21, millennium baru yan
bercirikan liberalisasi dan perdangan serta mendewa – dewakan budaya global
itu, bisa melanda bangsa – bangsa yang melewah wawasan kebangsaannya. Itulah
sebabnya, mantra abad baru sebagaimana dikemukakan oleh John Neisbiett (1994)
yang berbunyi “berpikirlah lokal, bertindaklah global” (think lokally, act globally), menjadi penting diterapkan dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia. Mantra itu, sebagai kebalikan dari
prase lama, yaitu “berpikirlah global, bertindaklah lokal” (thik globally, act lokally). Sebab,
menurutnya, pola ‘berpikir lokal, bertindak global’, hanya bisa dilakukan oleh
bangsa yang kuat semangat kebangsaannya. Sebagai ilustrasi, misalnya Jepang,
dengan budaya yang paling homogeny itu, telah bekerja luar biasa baiknya dalam
berpikir secara lokal dan bertindak secara global selama bertahun – tahun.
Ketiga, membangun system politik dan pemerintahan yang sesuai dengan ideology
nasional (Pancasila) dan konstitusi UUD 1945. Keempat, menyelenggarakan ‘proyek
budaya’ dengan cara melakukan pemahaman dan sosialisasi terhadap symbol –
symbol identitas nasional, misalnya: Bahasa Indonesia, lagu Indonesia Raya,
bendera Merah Putih dan Garuda Pancasila sebagai lambang Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Persoalannya
sekarang, integrasi nasional yang seperti apa yang hendak kita kembangkan di
Indonesia, yang masyarakatnya bersifat majemuk (pluralistis) itu? Beranalog dengan
konsep wawasan kebangsaan tadi, integrasi nasional hendaknya juga diartikan
bukan sebagai benda akan tetapi harus diartikan sebagai ‘semangat’ untuk
melakukan penyatuan terhadap unsur – unsur dan potensi masyarakat Indonesia
yang beranekaragam. Dengan demikian, integrasi nasional di Indonesia, bukanlah
sebuah ‘peleburan’ yang sifatnya ‘unifikatif’, akan tetapi lebih tepat disebut
dengan integrasi nasional yang bersifat ‘diversifikatif’ (pembedaan). Dengan
cara itu, perbedaan tetap diakui karena masyarakat akan bebas berekspresi
selaras dengan aspirasi dan way of life
yang diangkat dari nilai – nilai moral yang bersumber dari budaya daerah
setempat (lokal). Disamping itu, integrasi nasional yang diversifikatif lebih
tampak demokratis, dari pada integrasi nasional yang unifikatif yang justru mengarah
pada perkosaan HAM dan memungkiri realitas perbedaan. Integrasi nasional yang
diversifikatif lebih sesuai dengan semboyan bangsa kita dalam lambang Negara
Garuda Pancasila, yaitu “Bhinneka Tunggal
Ika”, yang artinya yang berbeda – beda itu pada hakikatnya adalah satu.
E.
Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia
Nasionalisme
dan Negara – bangsa (nation state)
sebagai wadah organisasi sosial yang membungkusnya, merupakan dua kekuatan
terbesar di dunia. Keduanya mampu mendominasi wacana politik dunia selama abad
ke-20 secara bertahap tetapi pasti, sekarang mulai berhadapan dengan sejumlah
tantangan yang menempatkan keduanya dalam posisi yang cukup sulit.
Kajian
atas nasionalisme dan bangsa, juga Negara – bangsa, hingga kini masih tetap
menjadi perdebatan oleh para ahli. Bagi sejumlah ahli, bangsa dan kesadaran
berbangsa diyakini merupakan representasi atau perwakilan dari Negara masa lalu yang terikat dalam
upaya – upaya realisasi diri. Bangsa dalam makna ini adalah suatu entitas
primodial yang merupakan bawaan yang melekat dalam nature dan sejarah manusia.
Secara objektif, suatu bangsa dapat diidentifikasi lewat perbedaan –
perbedaannya dengan bangsa lain dalam hal cara pandang, keterikatan dengan
tanah air, dan perjuangan – perjuangan untuk mendapatkan otonomi politik.
Namun
demikian, rumusan yang pasti mengenai nasionalisme dan Negara – bangsa sangat
sulit untuk digagaskan. Tetapi, jika diperhatikan arena persemaian awal,
konsepsi tentang nasionalisme dan Negara – bangsa diikuti logika dibalik
kehadiran nasionalisme dan Negara – bangsa yang tumbuh di Negara – Negara bekas
jajahan, kita akan menemukan bahwa keduanya pada dasarnya adalah fakta
perjanjian antara warga yang berdaulat dengan Negara (Lay, 1997).
Nasionalisme
dan Negara – bangsa secara radikal telah merombak struktur kesetiaan politik
rakyat dari kesetiaan kepada dinasti menjadi prinsip kedaulatan rakyat. Ia juga
telah merombak secara radikal struktur kesetiaan pada tuan penjajah untuk
digantikan dengan gagasan tentang kewarganegaraan. Oleh karena itu,
nasionalisme telah mentransformasikan masyarakat dan individu dari posisi
sebagai subjek pasif dalam politik menjadi warga Negara aktif yang mampu
mengatur diri sendiri.
Dengan
demikian, nasionalisme dan Negara – bangsa bukan saja memperhatikan kesejajaran
antara massa rakyat dengan penguasa, tetapi sekaligus di dalamnya melekat
impian – impian (harapan dan aspirasi) massa rakyat yang harus diwujudkan.
Substansi nasionalisme dan Negara – bangsa mencakup antara lain mengenai
demokrasi, keadilan sosial, kesejahteraan, dan HAM. Oleh karena itu, mustahil
berbicara nasionalisme dan Negara – bangsa tanpa mengaitkan dengan isu – isu di
atas.
Jika
gagasan nasionalisme dan Negara – bangsa di atas dicermati, logikanya sangat
sedikit orang tidak sepakat akan keduanya. Di dalam konsep nasionalisme dan
negar bangsa melekat semua nilai – nilai kemanusiaan tertinggi yang ingin
dicapai oleh setiap peradaban manusia. Tetapi seperti terungkap pada tingkat
praktis dalam masyarakat politik Indonesia, nasionalisme bisa dengan mudah
melahirkan penolakan atau sinisme di kalangan masyarakat. Nasionalisme secara
politik agar ‘menerima’ sesuatu atau ‘menerima’ sesuatu yang bertentangan
dengan hati nurani dan aspirasinya.
Dalam
konteks ‘menjauhi’ dan ‘menerima’ tersebut, nasionalisme Indonesia, sering
mengalami hambatan di hadapan massa rakyat dan pemerintahnya sendiri. Dalam
kaitan ini, (Cornelis Lay 1997) sempat mengidentifikasi, yang antara lain
disebabkan oleh beberapa hal.
Pertama,
berkaitan dengan pemahamannya yang mendalam sebagai suatu ideology. Ia bahkan
dipahami sebatas sebagai salah satu dari aliran politik yang pernah malang –
melintang di rimba raya politik (masa lalu) Indonesia. ‘Dikerangkengnya’
nasionalisme Indonesia dalam salah satu kekuatan politik di masa lalu (baca:PNI
zaman Orla), telah mewarnai dan memerosotkan posisi nasionalisme sampai pada
fase sebatas sebagai aliran politik. Padahal, nasionalisme bukan semata – mata
berfungsi sebagai ideology. Sekalipun, ia merupakan gejala yang mudah ditemui
di sembarang belahan dunia, dan sekalipun, ia menduduki dasar moral dan emosi
seperti halnya dengan ideology, ia tidak memiliki prinsip – prinsip
universalitas – seperti sosialisme atau kapitalisme misalnya – yang
memungkinnya untuk diklaim semata – mata sebagai ideology.
Dalam
sejarha politik masa lalu Indonesia, kita mengetahui bahwa berbagai aliran
politik, termasuk nasionalisme, yang tumbuh pada waktu itu terlibat dalam
‘perang’ dan ‘konflik’ tanpa henti. Oleh karena itu, ketika nasionalisme
dimengerti sebatas sebagai salah satu dari aliran politik di Indonesia, ia
dengan mudah akan diperlakukan sebagai lawan aliran oleh aliran politik
lainnya.
Kedua,
berkaitan dengan praksis nasionalisme yang mengikuti logika nasionalisme
internal. Jenis nasionalisme itu, memberikan penekanan pada superioritas dan
keabsahan Negara atas warganya dan mengabaikan substansi dari nasionalisme
sebagai suatu ‘pakta perjanjian’ antara warga negara dengan negara. Padahal,
sebagai ‘pakta perjanjian’ nasionalisme harus menekankan bukan saja bahwa warga
negara – bangsa memiliki hak untuk merdeka lewat negara, tetapi yang
bersangkutan juga memiliki hak yang sebanding untuk mengekspresikan diri,
mendapatkan kemerdekaan dan kemungkinan untuk berkembang. Bung Karno, telah
sejak dini, menegaskan bahwa kemerdekaan Indonesia hanya sebatas sebagai
‘jembatan emas’. Oleh karena itu, di dalam negara Indonesia yang merdeka,
terletak kewajiban bagi negara dan kita untuk memerdekakan setiap individu.
Dengan demikian, bukan semata – mata kemerdekaan bangsa yang menjadi pusat
perhatian nasionalisme, akan tetapi sekaligus kemerdekaan individu yang menjadi
warga dari bangsa yang bersangkutan.
Ketiga,
bertalian dengan kenyataan bahwa nasionalisme kadang digunakan sebagai sarana
untuk mengabsahkan atau membela sesuatu yang bertentangan dengan logika. Kita
sering berhadapan dengan kenyataan bahwa atas nama nasionalisme kita diharuskan
untuk membenarkan langkah – langkah yang bahkan merugikan bangsa secara
keseluruhan. Banyak contoh kasus di sekitar kita, dimana nasionalisme secara
gegabah telah digunakan untuk melegalisasi hal – hal yang sebenarnya tidak
punya kaitan dengan kepentingan negara dan bangsa. Misalnya, kasus penggusuran
demi pembangunan nasional, jika menolak penggusuran brarti tidak pembangun dan
anti nasionalis.
Berdasarkan
hambatan – hambatan di atas, persoalan pokok nasionalisme di Indonesia pada
dewasa ini adalah, bagaimana rakyat bisa diberdayakan. Hal itu sesuai dengan
cita – cita reformasi total terutama dalam rangka pemberdayaan civil society (masyarakat sipil).
Tercantumnya
hak – hak individu (warga negara) dalam sebuah konstisusi (UUD 1945) belum
tentu menjamin apakah kebijakan pemerintah mampu memberdayakan potensi bangsa
yang melekat pada masyarakat atau rakyat. Hal itu menuntut adanya kemauan dan
kesadaran negara (pemerintah) bahwa keberadaannya di dalam organisasi ini
adalah semata – mata untuk mengemban ‘misi suci’, yaitu menciptakan
kesejahteraan umum. Oleh karena itu, kinerja pemerintah dalam membuat kebijakan
akan sangat berpengaruh bagi dampak kebijakan itu, apakah mampu memberdayakan
rakyat atau masyarakat sipil atau bahkan terjadi sebaliknya, justru mengarah
pada dominasi negara (pemerintah) terhadap masyarakat sipil.
Pemberdayaan
masyarakat sipil, pada dasarnya juga merupakan proyek kebudayaan (cultural)
yang harus diciptakan oleh bangsa dalam menyongsong format Indonesia baru dan
nasionalisme Indonesia. Salah satu cirinya, adalah terdapatnya ruang public,
dimana semua orang harus mampu tumbuh dan mengaktualisasi diri serta mandiri
dan sukarela untuk mengambil bagian dalam pemerintahan. Perilaku setiap warga
negara dan pemerintahnya terikat oleh dan harus tunduk pada hukum yang
dihasilkan oleh sebuah perjanjian masyarakat (kontrak sosial). Untuk
menciptakan masyarakat yang berkeadaan (termasuk juga negara atau pemerintah
yang beradab) merupakan rangkaian perjuangan untuk selalu menegakkan prinsip –
prinsip keadilan dan menempatkan komponen masyarakat dan negara dalam suatu
kesederajatan. Jika hal itu disadari oleh seluruh komponen bangsa (baca: pemerintah
dan rakyatnya), cita – cita reformasi akan segera terwujud begitu juga
nasionalisme bangsa Indonesia akan semakin menjadi kokoh.
BAB III
KESIMPULAN
Masyarakat
Indonesia yang bersifat pluralistis ditandai oleh beberapa factor, yang antara
lain perbedaan suku bangsa, agama, ras/etnis, dan antargolongan. Sebagai
konsekuensi masyarakat yang pluralistis, masyarakat Indonesia secara cultural
memiliki kebudayaan local yang beranekaragam. Kondisi demikian, boleh jadi
melahirkan berbagai wawasan local yang berkembang di berbagai daerah nusantara,
yang digunakan dalam membangun wawasan nasional, sebagaimana dikenal sebagai
wawasan nusantara. Persoalan yang berkaitan dengan Sara (suku, agama, ras dan
antargolongan), hendaknya dipandang secara positif, yaitu sebagai energy
demokrasi atau kemajemukan masyarakat Indonesia dan bukan dikatakan sebagai
sumber konflik. Manajemen konflik yang mungkin timbul dari perbedaan Sara harus
dipahami secara kritis agar tidak menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karena
itu, bangunan wawasan kebangsaan yang dipetakan dari keanekaragaman wawasan
local dan Sara di Indonesia, akan menentukan bagi keberhasilan upaya integrasi
nasional dan sekaligus juga pemaknaan bagi paham kebangsaan (nasionalisme)
Indonesia.
Selamat Datang di Website OM ARIF
BalasHapusIzinkan kami membantu anda
semua dengan Angka ritual Kami..
Kami dengan bantuan Supranatural
Bisa menghasilkan Angka Ritual Yang Sangat
Mengagumkan…Bisa Menerawang
Angka Yang Bakal Keluar Untuk Toto Singapore
Maupun Hongkong…Kami bekerja tiada henti
Untuk Bisa menembus Angka yang bakal Keluar..
dengan Jaminan 100% gol / Tembus…!!!!,hb=082=337=039=447
Tapi Ingat Kami Hanya Memberikan Angka Ritual
Kami Hanya Kepada Anda Yang Benar-benar
dengan sangat Membutuhkan
Angka Ritual Kami .. Kunci Kami Anda Harus
OPTIMIS Angka Bakal Tembus…Hanya
dengan Sebuah Optimis Anda bisa Menang…!!!
Apakah anda Termasuk dalam Kategori Ini
1. Di Lilit Hutang
2. Selalu kalah Dalam Bermain Togel
3. Barang berharga Anda udah Habis Buat Judi Togel
4. Anda Udah ke mana-mana tapi tidak menghasilkan Solusi yang
Jangan Anda Putus Asa…Anda udah
berada Di blog yang sangat Tepat..
Kami akan membantu anda semua dengan
Angka Ritual Kami..Anda
Cukup Mengganti Biaya Ritual Angka Nya
Saja… Jika anda Membutuhkan Angka Ghoib
Hasil Ritual Dari=OM ARIF 2D,3D,4D
di jamin Tembus 100% silahkan:
Hub : (OM ARIF)
(082=337=039=447)
Adapun Besar Pergantian
Biayanya tergantung Paket Yang kami berikan
ReplyDelete
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
BalasHapusKAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل
KAMI SEKELUARGA MENGUCAPKAN BANYAK TERIMA KASIH ATAS BANTUANNYA MBAH , NOMOR YANG MBAH BERIKAN/ 4D SGP& HK SAYA DAPAT (350) JUTA ALHAMDULILLAH TEMBUS, SELURUH HUTANG2 SAYA SUDAH SAYA LUNAS DAN KAMI BISAH USAHA LAGI. JIKA ANDA INGIN SEPERTI SAYA HUB MBAH_PURO _085_342_734_904_ terima kasih.الالله صلى الله عليه وسلموعليكوتهله صلى الل